UNDANG-UNDANG ITE
(INFORMASI dan TRANSAKSI
ELEKTRONIK)
Indonesia telah memasuki sebuah tahapan baru dalam
dunia informasi dan komunikasi dalam hal ini adalah internet. Indonesia
merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang telah memulai
babakan baru dalam tata cara pengaturan beberapa sistem komunikasi melalui
media internet yakni seperti informasi,pertukaran data,transaksi online dsb.
Hal itu di lakukan oleh Indonesia melalui pemerintah yang bekerjasama dengan
Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat sebuah draft atau aturan dalam bidang
komunikasi yang tertuang dalam RUU ITE atau Undang-Undang Informasi dan Transaksi Eletronik. Tepatnya pada
tanggal 25 Maret telah disahkan menjadi UU oleh DPR. Dalam kenyataannya UU
tersebut tinggal menunggu waktu untuk dapat diberlakukan. UU ini dimaksudkan
untuk menjawab permasalahan hukum yang seringkali dihadapi diantaranya dalam
penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik,
khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang
dilaksanakan melalui sistem elektronik. Hal tersebut adalah sebuah
langkah maju yang di tempuh oleh pemerintah dalam penyelenggaraan layanan
informasi secara online yang mencakup beberapa aspek kriteria dalam penyampaian
informasi.
A. Pengertian UUD ITE Dan tujuan dibuatnya UUD ITE
Undang-Undang/Perundang-undangan (atau
disingkat UU) adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan
bersama Presiden. Undang-undang memiliki
kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam rangka
mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara. Undang-undang dapat pula dikatakan
sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak
rakyat, dan hubungan di antara keduanya.
ITE yaitu singkatan dari
Informasi dan Transaksi Elektronik. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum
yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, Jaringan Komputer, atau media
elektronik lainnya.
Jadi, undang-undang ITE
ADALAH:
Satu atau sekumpulan data
elektronik, tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, telegram, telecopy, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya.
Dan UU ITE sendiri di
Indonesia baru diterbitakan pada tanggal 25 maret 2008, adapun tujuan
dasar dari pembuatan undang – undang ini yaitu agar pemanfaatan Teknologi
Informasi dan Transaksi Elektronik dilaksanakan berdasarkan asas kepastian
hukum, manfaat,kehati-hatian, iktikad baik, dan kebebasan memilih teknologi
atau netral teknologi. Suatu jaminan yang kita peroleh sangat memberikan rasa
aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.
B. Pengertian Cyber law&crime
Cyberlaw
adalah hukum yang digunakan untuk dunia Cyber (dunia maya, yang umumnya
diasosiasikan dengan internet). Cyberlaw dibutuhkan karena dasar atau pondasi
dari hukum di banyak Negara adalah “ruang dan waktu”. Sementara itu, internet
dan jaringan komputer telah mendobrak batas ruang dan waktu. Adapun ruang
lingkup dari Cyber Law meliputi hak cipta, merek dagang,
fitnah/penistaan, hacking, virus, akses Ilegal, privasi,
kewajibanpidana, isu prosedural (Yurisdiksi, Investigasi, Bukti, dll),
kontrakelektronik, pornografi, perampokan, perlindungan konsumen dan
lain-lain.
C. Model Regulasi
Pertama, membuat berbagai jenis peraturan
perundang-undangan yang sifatnya sangat spesifik yang merujuk pada pola
pembagian hukum secara konservatif, misalnya regulasi yang mengatur hanya
aspek-aspek perdata saja seperti transaksi elektronik, masalah pembuktian
perdata, tanda tangan elektronik, pengakuan dokumen elektronik sebagai alat
bukti, ganti rugi perdata, dll., disamping itu juga dibuat regulasi secara
spesifik yang secara terpisah mengatur tindak pidana teknologi informasi
(cybercrime) dalam undang-undang tersendiri.
Kedua, model regulasi komprehensif yang materi
muatannya mencakup tidak hanya aspek perdata, tetapi juga aspek administrasi
dan pidana, terkait dengan dilanggarnya ketentuan yang menyangkut
penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Pada
negara yang telah maju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk
memfasilitasi setiap aspek kehidupan mereka, perkembangan hukum dunia maya
sudah sangat maju. Sebagai kiblat dari perkembangan aspek hukum ini, Amerika
Serikat merupakan negara yang telah memiliki banyak perangkat hukum yang
mengatur dan menentukan perkembangan Cyber Law.
D.
Cyber
Law di Indonesia
Indonesia
telah resmi mempunyai undang-undang untuk mengatur orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dalam dunia maya. Cyber Law-nya Indonesia yaitu undang–undang
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Di berlakukannya
undang-undang ini, membuat oknum-oknum nakal ketakutan karena denda yang
diberikan apabila melanggar tidak sedikit kira-kira 1 miliar rupiah karena
melanggar pasal 27 ayat 1 tentang muatan yang melanggar kesusilaan. sebenarnya
UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) tidak hanya membahas
situs porno atau masalah asusila. Total ada 13 Bab dan 54 Pasal yang mengupas
secara mendetail bagaimana aturan hidup di dunia maya dan transaksi yang
terjadi didalamnya. Sebagian orang menolak adanya undang-undang ini, tapi tidak
sedikit yang mendukung undang-undang ini.
Dibandingkan dengan
negara-negara di atas, indonesia termasuk negara yang tertinggal dalam hal
pengaturan undang-undang ite. Secara garis besar UU ITE mengatur hal-hal
sebagai berikut :
v Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang
sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai
dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas
batas).
v
Alat
bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP.
v
UU
ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada
di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki
akibat hukum di Indonesia.
v
Pengaturan
Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual.
v
Perbuatan
yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37) :
·
Pasal
27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
·
Pasal
28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
·
Pasal
29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
·
Pasal
30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
·
Pasal
31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
·
Pasal
32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
·
Pasal
33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?)
·
Pasal
35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik (phising?)
E.
Cybercrime
Cybercrime
merupakan bentuk-bentuk kejahatan yang timbul karena pemanfaatan teknologi
internet. Beberapa pendapat mengindentikkan cybercrime dengan computer
crime. The U.S. Department of Justice memberikan pengertien computer
crime sebagai:
“…any
illegal act requiring knowledge of computer technology for its perpetration,
investigation, or prosecution”.
Pengertian
tersebut identik dengan yang diberikan Organization of European Community
Development, yang mendefinisikan computer crime sebagai:
“any
illegal, unehtical or unauthorized behavior relating to the automatic
processing and/or the transmission of data”.
Adapun
Andi Hamzah (1989) dalam tulisannya “Aspek-aspek Pidana di Bidang komputer”,
mengartikan kejahatan komputer sebagai:
”Kejahatan di bidang komputer secara umum dapat
diartikan sebagai penggunaan komputer secara illegal”.
F. Karakteristik Cybercrime:
Selama ini dalam kejahatan konvensional, dikenal adanya dua jenis
kejahatan sebagai berikut:
a.
Kejahatan kerah biru (blue collar crime)
Kejahatan ini merupakan jenis kejahatan atau tindak kriminal yang
dilakukan secara konvensional seperti misalnya perampokkan, pencurian,
pembunuhan dan lain-lain.
b.
Kejahatan kerah putih (white collar crime)
Kejahatan jenis ini terbagi dalam empat kelompok kejahatan, yakni
kejahatan korporasi, kejahatan birokrat, malpraktek, dan kejahatan individu.
Cybercrime sendiri sebagai kejahatan yang muncul
sebagai akibat adanya komunitas dunia maya di internet, memiliki karakteristik
tersendiri yang berbeda dengan kedua model di atas.
G. Keadaan memaksa dalam Pasal 15 ayat 3 UU ITE
Cakupan
materi UU ITE secara umum antara lain berisi : informasi dan dokumen
elektronik, pengiriman dan penerimaan surat elektronik, tanda tangan
elektronik, sertifikat elektronik, penyelenggaraan system elktronik, transaksi
elektronik, hak atas kekayaan intelektual dan privasi.
Pasal 15 ayat 3 terkait dengan Pasal 15 ayat 2. Berikut ini isi ayat2
dan ayat 3:
ayat 2 :
”Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan
Sistem Elektroniknya”
ayat 3 :
ayat 3 :
”Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal
dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian
pihak pengguna Sistem Elektronik”
Dari Pasal 15 ayat 2 dan ayat 3 menunjukkan bahwa Penyelenggara Sistem
Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya
kecuali terjadi keadaan memaksa, kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna
Sistem Elektronik.
Contoh: Si Jamal sebagai pemilik kartu ATM dari Bank X. Suatu
hari, si Jamal ke Bank X untuk mengambil sejumlah uang tunai menggunakan kartu
ATM yang dimilikinya. Saat berada di dalam bilik ATM, si jamal berada di bawah
ancaman seseorang. Dalam keadaan memaksa, si Jamal mentransfer sejumlah uang dari
rekening yang dimilikinya ke rekening yang ditunjuk oleh si pengancam. Dari
cerita ini, Bank X sebagai penyelenggara Sistem Elektronik tidak dapat
dipersalahkan dan tidak bertanggung jawab atas transfer uang yang terjadi.
H. Keamanan ITE vs Kejahatan ITE
Keamanan ITE dan Kejahatan ITE selalu beradu dalam
berbagai persoalan terkait dengan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Keamanan ITE telah disinggung pada beberapa pasal dalam UU ITE, berikut
ini pasal-pasal yang dimaksudkan.
Pasal 12 ayat 1 :
Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban
memberikan
pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya.
Pasal 15 ayat 1 :
Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik harus menyelenggarakan Sistem
Elektronik secara andal dan aman serta bertanggung jawab terhadap beroperasinya
Sistem Elektronik sebagaimana mestinya.
Dari kedua pasal itu, jelas UU ITE mengharuskan
atau mewajibkan sistem elektronik yang diselenggarakan termasuk penggunaan
tanda tangan elektronik berlangsung dengan aman.
Kenyataan, masih banyak transaksi elektronik yang
berlangsung tidak menggunakan sistem elektronik yang aman. Oleh karena itu,
ketika dalam suatu perkara di pengadilan yang terkait pelanggaran berupa
pengrusakan informasi dan/atau dokumen elektronik serta sistem elektronik
seperti tertuang dalam Pasal 30-33 dan Pasal 35, maka Hakim harus
mempertimbangkan dua sisi, yaitu :
- Perbuatan si pelaku kejahatan yang mengakibatkan kerugian.
- Keamanan Sistem Elektronik yang diselenggarakan.
Pasal 16 ayat 1 :
Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang tersendiri, setiap
Penyelenggara Sistem Elektronik wajib mengoperasikan Sistem Elektronik yang
memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:
·
Dapat menampilkan kembali Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan
dengan Peraturan Perundang-undangan;
·
Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan,
keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan Informasi Elektronik dalam
Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
·
Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau
petunjuk dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut;
·
Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang
diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak
yang bersangkutan dengan Penyelenggaraan Sistem Elektronik tersebut; dan
·
Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga
kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
I. Kasus mengenai Perbuatan yang Dilarang dalam UU ITE
Selain memuat ketentuan mengenai penyelenggaraan
sistem elektronik untuk mendukung informasi dan transaksi elektronik, UU ITE
juga memuat pasal-pasal mengenai Perbuatan yang Dilarang dan Ketentuan Pidana.
Perbuatan yang Dilarang termuat pada pasal 27 – 37, sedangkan Ketentuan Pidana
pada pasal 45 – 52. Pidana dapat berupa pidana penjara dan/atau denda.
Contoh kasus:
”Si A adalah pemilik rental VCD berbagai macam
film. Suatu hari, dia mendapatkan kiriman satu VCD dari seseorang yang tidak
dikenal. Isi VCD berupa video singkat yang memuat permainan sex sepasang
suami-isteri. Dalam cerita ini, si suami isteri itu sengaja membuat video
tersebut untuk kepentingan pribadi bukan untuk dipublikasikan, tapi entah
bagaimana video itu jatuh ke tangan orang lain (si A). Kemudian, si A meng-copy
video itu ke dalam beberapa VCD, lalu menyebarkan atau menjualnya. Pekerjaan Si
A tidak hanya menjual VCD, si A juga memiliki kegemaran untuk merekayasa
foto-foto artis menjadi tampak dalam pose bugil, malahan si A memiliki website
yang dirancangnya sendiri untuk menfasilitasi pemuatan video dan gambar-gambar
pornografi baik gambar asli atau gambar rekayasa”
Dari kasus di atas, perbuatan si A dapat dijerat
dengan pasal-pasal dalam UU ITE sebagai berikut:
Pertama :
Pertama :
Perbuatan si A dengan sengaja dan tanpa hak telah mendistribusikan
informasi elektronik dan dokumen elektronik berupa video singkat yang melanggar
kesusilaan. Untuk itu Pasal 27 ayat 1 akan menjerat si A.
Pasal 27 ayat 1 : ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang
melanggar kesusilaan”.
Kedua :
Perbuatan si A melakukan manipulasi terhadap informasi elektronik
berupa foto artis untuk diubah menjadi foto dalam pose bugil. Tujuan dari
manipulasi ini adalah mencemarkan nama baik artis dan membuat foto hasil
rekayasa seolah-olah otentik/asli.
Untuk itu Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 35 akan menjerat pula si A.
Pasal 27 ayat 3 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik”.
Pasal 35 :
”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan
manipulasi, penciptaan, perubahan, penghilangan, pengrusakan Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dengan tujuan agar Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik tersebut dianggap seolah-olah data yang otentik”.
Ketiga :
Perbuatan si A mengakibatkan kerugian bagi suami isteri dan artis. Si
suami isteri membuat video itu untuk kepentingan pribadi bukan untuk
dipublikasikan. Si artis memiliki foto asli tidak dalam pose bugil, tapi karena
ulah si A, foto asli diubah menjadi foto rekayasa dalam pose bugil.
Untuk itu Pasal 36 akan menjerat pula si A.
Pasal 36 : ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 34
yang
mengakibatkan kerugian bagi Orang lain”.
Keempat :
Perbuatan si A mengadakan perangkat lunak berupa website yang bertujuan
untuk menfasilitasi pendistribusian foto/gambar bersifat pornografi.
Untuk itu Pasal 34 ayat 1 bagian a akan menjerat pula si A.
Pasal 34 ayat 1 bagian a : ”Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, menjual, mengadakan untuk
digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki perangkat
keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus
dikembangkan untuk memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27
sampai dengan Pasal 33”.Dari pasal-pasal yang dapat menjerat si A maka
ketentuan pidana yang terkait termuat pada pasal-pasal sebagai berikut:
Pasal 45 ayat 1 : ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat(1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Pasal 50 : ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Pasal 45 ayat 1 : ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat(1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Pasal 50 : ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Pasal 51 ayat 1 : ”Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua belas miliar
rupiah)”
Pasal 51 ayat 2 : ”Setiap Orang yang memenuhi unsur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama
12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling banyak Rp12.000.000.000,00 (dua
belas miliar rupiah)”
J.
Dampak positif dan negative
UU ITE adalah:
a. Dampak
positif:
-
memberikan
peluang bagi bisnis baru bagi para wiraswastawan di Indonesia karena
penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan berbadan hukum dan berdomisili di
Indonesia.
-
jika dilihat dari segi ekonomi dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi.
-
pajak yang dapat menambah penghasilan negara juga menyerap
tenaga kerja dan meninggkatkan penghasilan penduduk.
b.
Dampak
negatif:
-
UU ITE dianggap banyak oleh pihak bahwa undang-undang tersebut
membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan menghambat
kreativitas dalam berinternet.
-
Undang-undang ini menimbulkan suatu polemik yang cukup
panjang. Maka dari itu muncul suatu gagasan untuk merevisi undang-undang
tersebut.